Home Top Ad

Responsive Ads Here

Search This Blog

Disclaimer: Ibu Fatha-Nadin bukan seorang konselor laktasi. Kisah tentang perjuangan menyusui yang muncul di sini hanya berdasarkan pengalam...

Bisakah Flat Nipple Menyusui?



Disclaimer: Ibu Fatha-Nadin bukan seorang konselor laktasi. Kisah tentang perjuangan menyusui yang muncul di sini hanya berdasarkan pengalaman dan hasil diskusi dengan beberapa orang yang lebih ahli. Cerita versi sebelumnya sudah pernah ditulis di sini.


Jauh sebelum Fatha-Nadin lahir ke dunia, bahkan sebelum bertemu ayah mereka, aku sudah mulai mencari-cari informasi tentang menyusui. Bergabung dengan grup Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) di Facebook adalah salah satunya. Melalui grup itu, aku merasa sangat percaya diri bahwa masalah anatomi payudara yang kumiliki, yaitu inverted nipple, alias puting terbalik, bukanlah halangan untuk memberikan ASI pada buah hati nanti. Meskipun masalah itu terjadi pada kedua payudara, kanan dan kiri, aku merasa optimis luar biasa saat itu.

 

Namun sayangnya, lagi-lagi praktek tak semudah teorinya.

 

Saat Fatha lahir, proses belajar menyusu dan menyusui teramat sulit. Aku merasakan perih dan nyeri di puting, tanda bahwa pelekatan belum sempurna. Nenekku yang tinggal bersebelahan denganku memberikan wejangannya,

 

"Yang namanya menyusui itu pasti sakit, tahan saja," ujarnya setiap aku meringis atau merintih kesakitan. Ego dalam diriku tidak mau terima. Merasa yakin benar bahwa rasa sakit saat menyusui pertanda ada yang salah dengan pelekatan, aku selalu membalas setiap ucapan beliau. Perasaan tidak mendapat dukungan yang memadai ini salah satunya menjadi pemicu baby blues yang kualami.

 

Bulan pertama Fatha lahir adalah saat-saat terberat bagiku. Aku merasa berjuang seorang diri. Beruntung masih ada teman-teman di grup yang memberikan support meski kadang kurasa tidak banyak membantu. Aku membutuhkan solusi yang nyata, pikirku saat itu.

 

Saat usia Fatha seminggu, aku menemui konselor laktasi yang praktek di sebuah rumah bersalin di kotaku. Beliau memberikan solusi yang menenangkan. Trik bagaimana memegang dan menopang payudara dengan teknik C-hold dan memipihkan bagian areola ia berikan, membuatku lebih percaya diri saat mempraktekannya langsung.

 

Sudah berakhirkah deritaku?

 

Sayangnya belum. Setelah kembali ke rumah, aku masih merasa kesulitan melekatkan mulut Fatha ke posisi menyusu yang pas. Aku sampai memvideokan bagaimana Fatha menyusu dan mengirimkan lagi kepada Bu Titik, konselor laktasi yang kutemui sebelumnya.

 

Belum berhasil juga, aku meminta bantuan konselor laktasi di grup Pejuang ASI, Mbak Elya, untuk bisa home visit. Bahkan Mbak Widy, bidan merangkap konselor laktasi di klinik tempatku melahirkan juga akhirnya datang untuk membantu.

 

Rupanya tantangan yang kuhadapi bukan hanya itu. Engorgement alias bendungan ASI mulai muncul. Nyeri dan demam menggigil mulai kurasakan. Belajar memerah dengan tangan untuk mengurangi nyeri sudah kulakukan, tapi nyeri tak kunjung hilang. Pompa ASI yang sudah kusiapkan saat hamil empat bulan tak juga bisa diandalkan. Belakangan aku tahu, ukuran corong pompa tersebut tak sesuai dengan ukuran putingku. Perih yang kualami makin menjadi-jadi. 

 

(Perjalanan menemukan pompa ASI paling cocok versi Ibu Fatha-Nadin sudah pernah dikisahkan di sini)

 

Mbak Intan, bidan yang melakukan perawatan pasca persalinan padaku, sangat-sangat membantu dengan memberikan pijat laktasi. Jangan ditanya bagaimana rasanya. Setiap selesai dipijat, aku langsung berusaha memerah ASI dengan menahan sakit dan ngilu.

 

Oh ya, saat itu aku masih memegang teguh idealisme bahwa di minggu-minggu pertama bayi lahir, aku harus memperbanyak skin-to-skin contact dan belajar posisi serta pelekatan menyusui. Posisi bayi harus menempel erat pada perut ibu, kepala hingga badan bayi lurus menghadap payudara sehingga bayi pun nyaman mengisap ASI. Mulut bayi mesti membuka lebar dan mengangkup seluruh bagian areola payudara ibu, sehingga isapan berlangsung optimal.

 

Aku belum tertarik memerah ASI, sebenarnya. Fokus perhatianku masih tertuju pada memperbaiki posisi dan pelekatan tadi.

 

Akibatnya, lama-kelamaan produksi ASIku tidak mencukupi kebutuhan bayi. Di kala pelekatan belum juga benar, Fatha tidak mendapat cukup ASI. Aku masih egois tidak mulai meningkatkan produksi ASI dengan memerah ASI. Puncaknya, saat usianya tiga minggu, Fatha harus dirawat di perinatologi karena berat badannya turun drastis hingga 20% dari berat lahir. 

 

Dokter spesialis anak (DSA) yang merawat menyatakan, Fatha nyaris mengalami gagal tumbuh. Saat itu aku diberi tiga pilihan:

 

1. Memberikan Fatha ASI perah dengan volume yang sudah ditentukan oleh DSA melalui perhitungan berat badan bayi saat itu

2. Mencarikan ASI donor untuk memenuhi kebutuhan tersebut, atau

3. Memberikan susu formula berkalori tinggi untuk mengejar ketertinggalan berat badan Fatha

 

Produksi ASI bisa ditingkatkan dengan menambah demand, misalnya dengan mempersering frekuensi menyusui, atau dengan memerah ASI. Sayangnya karena aku belum melakukannya secara rutin, hasil perahanku tidak mencukupi kebutuhan Fatha. Mencari ASI donor juga tidak semudah itu. Banyak pertimbangan juga untuk mencari ASI donor yang proper, terlebih di kota kecil seperti tempat tinggal kami. Pada akhirnya, aku harus menurunkan egoku dan memilih alternatif terakhir. Tentunya setelah kutumpahkan segala kekecewaanku pada suami karena tidak bisa memberikan ASI eksklusif untuk Fatha. Terlebih, susu formula diberikan dengan menggunakan media dot, media yang sama sekali tidak ideal karena memiliki kemungkinan menimbulkan bingung puting. Apalagi jika sang ibu memiliki anomali bentuk puting.

 

Salah satu kata-kata Bu Titik, konselor laktasi yang mendampingiku saat Fatha dirawat mampu membuat hatiku lebih tertata.

Sekarang saatnya fokus pada memperbaiki berat badan Fatha. Urusan bingung puting, ada yang namanya relaktasi. Yang penting nanti sepulang ke rumah, persering skin-to-skin contact. InsyaAllah Fatha bisa kembali menyusu.

 

Alhamdulillah, empat hari dirawat di perinatologi, berat badan Fatha bisa naik empat ons. Aku yang sudah merasa lebih tenang pun sudah bisa meningkatkan hasil perahan hingga 100 ml setiap kali sesi memerah, setiap dua jam sekali. Fatha masih harus dicukupi kebutuhan ASI-nya dengan ASI perah. Namun perlahan tapi pasti, Fatha kembali bisa menyusu dengan baik. Butuh waktu seminggu untuk relaktasi.

 

Melalui pelajaran berharga dari anak pertama, ada satu hal penting yang kemudian kuterapkan untuk anak kedua, Nadin.

 

  • Belajar pelekatan memang menjadi prioritas, tapi tak ada salahnya mulai belajar memerah ASI.
 
Memerah ASI dengan pompa bisa menjadi salah satu alternatif yang tepat, karena sistem vakum pada pompa bisa merangsang munculnya puting. Meski bayi menyusu pada areola, tak dapat dipungkiri bahwa puting dapat menjadi "pegangan" buat si bayi saat mulai belajar menyusu. Menggunakan spuit yang dibalik atau nipple puller juga bisa menjadi alternatif. Karena aku sadar diri tidak setelaten itu, menggunakan pompa ASI adalah shortcut terbaik untukku.
 
Bonusnya, produksi ASI bisa digunakan sebagai cadangan kebutuhan bayi saat menyusu langsung (direct breastfeeding) belum mencukupi. Bahkan saat anak kedua, alhamdulillah aku tidak merasakan nyerinya bendungan ASI di bulan-bulan pertama, karena ASI bisa diperah sebelum sempat menyumbat saluran payudara.

 Tips lain yang kemudian menjadi bahan perbaikan saat menyusui Nadin, kuceritakan di postingan ini.

Akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa menyusui dengan kondisi flat nipple atau bahkan inverted, sangat mungkin untuk dilakukan. Memang benar, prosesnya luar biasa melelahkan. Namun melihat hasil yang dicapai, semuanya itu layak untuk diperjuangkan.

Terus semangat, wahai Pejuang ASI!


#pekanmenyusuisedunia
#NgasiYuk
#ngasiyukpeduliASI 
#WABA2021

 


0 comment(s):