Disclaimer: artikel ini ditulis berdasarkan
pengalaman pribadi. Teori dan kondisi ideal mungkin menyatakan hal yang
berbeda. Namun setidaknya yang saya tulis di sini merupakan kondisi yang sudah
terbukti berhasil untuk saya pribadi. Kebijakan pembaca disarankan :)
Siapa di antara ibu-ibu pembaca yang pernah
mengalami masalah saat menyusui Si Kecil, terutama pada saat hari-hari pertama
kelahiran? Bendungan ASI yang berujung pada mastitis di payudara, puting lecet,
ASI yang keluar sedikit (atau dianggap sedikit), hingga bayi mengalami bingung
puting.
Jika pernah, mari tosss.. Saya pernah beberapa kali merasakan hampir semua masalah tersebut.
Meskipun sejak hamil saya sudah berusaha
membekali diri dengan ilmu dan pengetahuan mengenai menyusui, dengan mengikuti
kelas persiapan kehamilan maupun kelas menyusui, kenyataan di lapangan sungguh
sangat berbeda. Misalnya, dikatakan bahwa bayi harus menyusu sekehendaknya, dan
harus dibangunkan tiap dua jam sekali untuk menyusu. Pada prakteknya, menyusui
itu beraaaat luar biasa. Kondisi tubuh saya yang belum sepenuhnya pulih pasca melahirkan,
ditambah kekhawatiran untuk tidak mampu memberikan yang terbaik bagi Fatha,
menyebabkan saya sempat terkena sindrom baby
blues.
Jangankan untuk mandi dan merapikan rumah,
hanya untuk sekadar menyempatkan makan pun saya tak sanggup. Sariawan bermunculan
di rongga mulut saya, bekas jahitan di jalan lahir terasa nyeri tak karuan, dan
puting terasa perih bak diiris-iris ketika harus menyodorkan payudara ke mulut
Fatha. Apalagi saya tinggal di kampung yang solidaritas dan kekeluargaan di
antara penduduknya masih sangat kental. Terhitung sejak hari pertama kami
pulang dari klinik bidan, tamu sudah berdatangan mengucapkan selamat. Setiap
hari. Saat saya masih berjuang dengan posisi dan pelekatan menyusui. Untungnya
tetangga-tetangga bukan tipe yang sering saya dengar melalui curhatan
teman-teman saya. Yang saking perhatiannya, malah memberikan pendapat ketika
tidak diminta. Atau malah membandingkan dengan kisahnya sendiri, anaknya,
saudaranya, atau tetangganya yang lain :)
Titik balik terjadi pada saat usia Fatha
menginjak 3 minggu. Angka pada timbangan yang seharusnya sudah bertambah, justru
turun sebanyak 20% dari berat badan lahir. Padahal batas toleransi penurunan
berat badan bayi yang diijinkan pada usia 1 minggu hanya sebesar 10% karena
proses adaptas bayi di duniai. Itu pun pada minggu kedua, seharusnya berat
badan bayi sudah harus kembali naik, setidaknya sama dengan berat badan lahir.
Konsultasi dengan dokter spesialis anak (DSA),
dilakukanlah observasi baik pada Fatha maupun pada saya. Beliau mengamati posisi
dan pelekatan menyusui. Ternyata tidak ada masalah. Cek darah rutin Fatha pun
menunjukkan semuanya baik-baik saja: kadar gula darah, haemoglobin. Hingga
akhirnya DSA menyimpulkan bahwa intake makanan
(dalam hal ini ASI) Fatha tidak cukup untuk pertumbuhannya.
DSA menyarankan Fatha dirawat di perina RS
bersalin tempat kami berkonsultasi dengan pemberian ASI perah setiap 2 jam atau
sekehendak Fatha. Dalam kondisi emosi yang masih amburadul, saya menyalahkan
diri sendiri. Beruntung Ayah dan Uti Fatha saat itu memberikan dukungan terbaik
mereka. Mengetahui saya dalam kondisi under
pressure, mereka memberikan pengertian bahwa saya harus bisa berlapang dada
menerima kenyataan seandainya tidak bisa memberikan ASI eksklusif kepada Fatha.
Tujuan dari mengASIhi kan memberikan yang terbaik buat anak. Kalau ternyata tidak mampu, masih ada susu formula. Let it go saja. Yang penting Fatha tumbuh sehat
dengan hati-hati Ayah Fatha merayu
saya.
Karena ekspektasi yang tinggi untuk bisa
memberikan ASI eksklusif ini, saya sempat marah pada Ayah dan Uti Fatha. Saya
beranggapan bahwa mereka tidak mendukung saya. Harapan saya tinggal pada
konselor laktasi yang sudah beberapa kali saya temui saat belajar tentang
posisi dan pelekatan serta saat saya mengalami bendungan ASI. Beliau meminta
saya untuk tetap berpikiran positif dan yakin bahwa ASI cukup. Beliau juga
berpesan untuk saya mengikuti prosedur yang berlaku, termasuk mengenai
pemberian ASIP dengan botol dan dot, alih-alih gelas seperti yang saya
harapkan.
Yang terpenting sekarang, berat badan Fatha bisa normal dulu, baru nanti dipikirkan bagaimana selanjutnya.
Saya akhirnya takluk, menyadari bahwa produksi ASI saya
justru makin macet saat saya stress.
Empat hari Fatha dirawat di perina,
Alhamdulillah beratnya naik secara signifikan. DSA pun mengijinkan Fatha pulang
ke rumah. Sampai di rumah, drama botol dan dot masih berlangsung. Saya merasa
cemburu pada dot dan Uti, karena Fatha lebih memilih memyusu lewat dot dan
diberikan oleh Uti. Saya benar-benar kepayahan kejar setoran. Ada kalanya Fatha
sudah merengek-rengek minta ASI, sedangkan saya masih berjuang memerah.
Untungnya hal ini tidak berlangsung lama.
Setelah target peningkatan berat badan tercapai, DSA justru meminta saya untuk
full menyusui secara langsung. Saat itu saya menyebutnya relaktasi karena Fatha
sudah mengalami bingung puting. Lagi-lagi dengan dukungan Bu Titik, konselor
laktasi yang membantu saya melalui masa-masa sulit, relaktasi berhasil
dilakukan dalam waktu kurang dari seminggu. Oh iya, saat itu usia Fatha belum
genap dua bulan.
Bu Titik menyarankan saya untuk memperbanyak
kontak skin to skin dengan Fatha. Istilah beliau, “bermain dada”. Pemakaian dot
sebagai media pemberian ASIP benar-benar dihentikan. Berat badan Fatha pada
bulan berikutnya pun naik melebihi kenaikan berat minimal (KBM).
Bonusnya, sebelum kembali bekerja saat usia
Fatha 2 bulan, saya sudah berhasil mengumpulkan stok ASIP dalam jumlah cukup.
Alhamdulillah..
Dari situ saya memahami bahwa ada banyak hal
yang bisa mendukung keberhasilan pemberian ASI eksklusif, di luar teori-teori
yang sudah ada, yaitu:
- Keteguhan
hati “Menyusui harus keras kepala”
Memang benar, menyusui harus dengan
tekad yang kuat. Keras kepala. Meskipun lingkungan kadang tidak memberikan
dukungan yang kita harapkan, selama kita yakin, pasti mampu. Tentunya diawali
dengan ilmu dan pengetahuan yang tepat mengenai menyusui karena praktek tanpa
ilmu dan teori tentu akan sulit dilaksanakan. Busa jadi ada kemungkinan berhasil, tapi dengan ilmu yang cukup, kita bisa makin percaya diri saat mengambil keputusan
dan siap dengan segala konsekuensinya. Seperti pada kasus bingung puting Fatha,
karena saya sudah tahu, risiko bingung puting mungkin saja terjadi akibat
penggunaan dot, namun saya memutuskan untuk tetap mengikuti prosedur di klinik.
Proses relaktasi pun makin mudah dilakukan karena sudah paham sebab-akibatnya.
Banyak teori yang memaksa kita harus begini, atau melarang kita begitu. Dalam kondisi ideal, tentunya teori tersebut punya banyak keuntungan. Penggunaan dot menyebabkan bayi bingung puting, atau bingung puting laten yang menyebabkan produksi ASI terhambat. Bayi lebih suka "pasrah" mengisap botol susu daripada payudara ibu. Kalaupun mau, hisapannya tidak cukup kuat untuk "mengosongkan" payudara ibu. Akibat tidak dikosongkan dengan baik, produksi ASI pun melambat.
Kadang ada beberapa teman yang curhat ke saya. Mereka merasa tertekan karena dipandang tidak cukup kuat berusaha menyusui. Hanya karena bayi mereka disusukan dengan media dot saat ditinggal bekerja. Siapa yang beranggapan seperti itu? Tentu saja sesama ibu menyusui lainnya yang beruntung pengasuh anaknya rela belajar memberikan ASI dengan cup feeder atau gelas.
Saya harus bersyukur, baik suami maupun ibu berkenan bersusah payah melatih diri maupun Fatha untuk meminumkan ASIP dengan gelas. Pada saat saya saya harus berpisah dengan Fatha selama sembilan hari karena tugas, alhamdulillah Fatha masih ingat bagaimana cara menyusu dengan benar.
Tapi bagaimana dengan ibu-ibu lain yang tidak mendapatkan privilege seperti saya?
Saya teringat pada dua orang konselor laktasi senior yang sangat bijak dan menenangkan. Yang pertama, KL yang mendampingi saya saat mengalami berbagai masalah di atas. Satu lagi yang saya temui ketika kebetulan harus memerah di klinik laktasi saat sedang bertugas di Kemenkes.
Keduanya menekankan bahwa dalam keadaan yang tidak ideal, kita harus mencari strategi agar konsekuensi terburuk tidak terjadi. Dalam kasus bingung puting karena penggunaan dot tadi misalnya, diupayakan ibu bekerja tetap dapat menyusui bayinya sekehendak hati saat malam hari. Harapannya, bingung puting tidak terjadi.
Benar juga. Pada akhirnya ketika kita menerima keadaan kita dengan realistis, selama sudah mempersiapkan langkah-langkah pencegahan, semua bisa berjalan baik.
Seperti yang disampaikan Ayah Fatha,
bahwa tujuan utama menyusui adalah memberikan kebutuhan utama bayi berupa
makanan bergizi. Model seperti saya yang mudah stress ketika keadaan tidak
berjalan seperti yang diharapkan, maka mantra ini bekerja dengan baik.
Kemungkinan terpahit jika ASIP saya habis saat sedang bekerja adalah saya harus
pulang ke rumah dan menyusui Fatha secara langsung. Jika ijin sudah terlalu
banyak, ya terpaksa menggunakan rencana cadangan, memberikan Fatha susu formula.
Toh susu formula sudah diformulasikan cocok untuk pencernaan bayi. Toh bukan
MPASI dini. Pikir saya kala itu. Alhamdulillah plan B itu tidak pernah terjadi.
Allah telah mencukupkan rejeki ASI, kemungkinan karena saya pada akhirnya
berpikir legowo. Tidak lagi dikejar target.
Pssst, saya tidak pernah
menyampaikan pendapat saya ini kepada keluarga maupun kerabat, hanya saya
pendam dalam hati. Kekhawatiran yang ada di dalam pikiran saya, justru mereka jadikan alasan untuk memberikan Fatha
sufor ketika saya sedang berjuang menyediakan ASI perah untuk Fatha. Jadinya plan B tadi memang hanya saya jadikan sugesti dalam pikiran saja agar saya tenang dan tdan tidak gampang panik saat stok ASIP menipis.
- Membentuk support system yang baik
Dukungan keluarga dan lingkungan
sekitar memang sangat penting untuk keberhasilan ASI eksklusif. Bagaimana
mungkin Ibu berhasil memberikan ASI eksklusif jika tekanan maupun godaan muncul
di sana-sini untuk menyambung dengan sufor. Apalagi ditambah embel-embel,
“ASI-mu tak akan cukup”, atau “anakmu kehausan, nangis terus, sini ibu buatkan
susu.”
Edukasi mengenai ASI eksklusif dan
standar emas pemberian makanan untuk bayi memang idealnya dilakukan sebelum
bayi lahir. Kadang berhasil, bisa juga belum. Jika memang belum berhasil, ibulah
yang mesti membentengi diri dari lingkungan yang tidak sesuai menurut
standarnya.
Dalam kasus saya, justru kerabat
dekat yang sering membuat mood saya amburadul karena membandingkan Fatha dengan
bayi lain, atau menyalahkan saya karena dianggap terlalu keras kepala. Nah, saya membentuk support system
dengan jumlah personil minimal, namun benar-benar saya percaya. Cukup Ayah dan Uti Fatha yang Alhamdulillah
sudah sepemahaman mengenai ASI eksklusif.
Semua langkah di atas akan lebih mantap hasilnya jika kita selalu merasa bahagia. Syukuri tiap tetes ASI yang keluar. Selalu berdoa dan dan tetap yakin bahwa Tuhan akan mencukupkan rizki anak kita melalui ASI yang kita hasilkan.
Bukankah menyusui juga bagian dari ibadah kita sebagai ibu?
Dan saya percaya bahwa hati yang bahagia adalah ASI booster terbaik. Selamat mengASIhi buibu :)
0 comment(s):