Home Top Ad

Responsive Ads Here

Search This Blog

Masa kecilku tak lepas dari buku. Rasanya, sepanjang ingatanku, buku identik dengan prestasi. Pasalnya, Mama akan memberikan kami - aku dan ...

Buku Favorit




Masa kecilku tak lepas dari buku. Rasanya, sepanjang ingatanku, buku identik dengan prestasi. Pasalnya, Mama akan memberikan kami - aku dan adik laki-lakiku - hadiah berupa buku jika kami berhasil menjadi juara kelas. Apabila meraih peringkat satu di kelas, maka kami berhak mendapatkan tiga buah buku. Jumlah itu akan berkurang seiring turunnya peringkat. 

 

Aku masih ingat, hanya ada satu buah toko buku kecil di kota kami. Toko Buku Gramedia yang tidak bertahan lama berdiri. Setiap usai penerimaan rapor, Mama dan Papa akan membawa kami ke sana, meminta kami memilih buku kesukaan masing-masing.

 

Aku tahu persis, budget membeli buku Mama Papa sangat terbatas. Tetapi jika menyangkut pelajaran, bagaimana pun caranya mereka akan berusaha membelikan. 

 

Menyadari bahwa koleksi buku di rumah terbatas, sedangkan keinginan membaca sangat besar, aku sering berkunjung ke perpustakaan sekolah atau bermain ke rumah kawan-kawan sekolahku. Ada dua sahabat masa kecilku yang kuingat memiliki rak buku penuh dengan set Widya Wiyata atau novel karangan Enid Blyton. Setiap hari sepulang sekolah, selalu kusempatkan jalan kaki menuju rumah mereka, hanya untuk memenuhi hasrat membaca.


Oh ya, kami juga berlangganan Majalah Bobo kala itu. Majalah Bobo yang terbit tiap minggu, hanya dapat terbeli sebulan sekali, Bisa dibayangkan, bukan, kami kesulitan mengikuti cerita bersambungnya karena tidak rutin membaca tiap terbitan.

 

Hingga di bangku SMA, aku masih membaca Majalah Bobo ini. Kali ini giliran adik bungsuku - yang usianya selisih sepuluh tahun dariku - yang berlangganan. Aku masih dapat menikmati beberapa rubrik di dalamnya. Ya, walapun aku merasa sudah banyak perubahan terjadi. Makin banyak isi tentang idola anak-anak pada masa itu. Macam poster Coboy Junior, atau artis-artis anak yang tidak kuikuti perkembangannya.

 

Memasuki masa kuliah, bacaanku beralih ke Majalah Annida. Mbak Helvy Tiana Rosa dan adiknya, Asma Nadia, serta beberapa penulis lain seperti Ifa Avianty yang menjadi penulis favoritku kala itu. Mengalami beberapa kali pergantian genre favorit, sampai akhirnya sekarang aku kembali menggemari buku anak-anak. Apalagi jika bukan karena ingin membahagiakan anak-anak :)

 

Kisah-kisah anak-anak perempuan di Asrama Malory Towers atau Petualangan Lima Sekawan karya Enid Blyton, Petualangan para detektif STOP karya Stefan Wolf, Kisah Hardy Boys tulisan Franklin W. Dixon, hingga karya-karya dalam negeri seperti buku karangan Arswendo Atmowiloto. Apalagi kalau bukan Serial Noni, Imung, dan Keluarga Cemara. Aku bahkan sempat berbuku ke toko buku loak untuk mendapatkan koleksi-koleksi lama itu. Beberapa hari yang lalu, aku bahkan sudah melengkapi koleksi Laura Ingals Wilder yang terkenal dengan Serial Little House on The Prairie. Duh, bahagia rasanya bisa melalap habis buku-buku penuh kenangan itu.

 

Saat ini, Fatha dan Nadin sudah memiliki satu buah rak buku yang diisi dengan koleksi buku Halo Balita dan Confidence in Science. Membaca seri CIS mengingatkanku pada Widya Wiyata di masa kecilku dulu. Belum termasuk buku-buku hasil buruan Big Bad Wolf, tentunya. Aku berharap, mereka bisa mencintai buku sebagai sumber ilmu. Belajar karena suka dan butuh, bukan karena keterpaksaan.

 

Oleh sebab itu, aku merasa luar biasa bahagia ketika beberapa hari yang lalu, Fatha berujar,

 

"Bu, aku kok belum bisa baca ya," saat ia membuka-buka halaman surat kabar.

 

Mengenalkan huruf dan kata menjadi lebih menyenangkan karena keinginan langsung dari dalam dirinya. Semoga kalian menjadi anak-anak pintar nan bijaksana yang sayang-sayangku..

0 comment(s):

Jalan-jalan menjadi salah satu cara rekreasi yang menyenangkan bagiku dan suami. Sejak awal menikah, kami sering meluangkan waktu sekadar be...

Rindu Jalan-jalan



Jalan-jalan menjadi salah satu cara rekreasi yang menyenangkan bagiku dan suami. Sejak awal menikah, kami sering meluangkan waktu sekadar berjalan-jalan keliling kota, atau staycation di kota sebelah. Terlebih saat aku masih menyelesaikan kuliah di Yogyakarta, rasanya hampir tiap bulan suami mendatangiku untuk liburan. Sunday morning di lingkungan kampus menjadi saat yang ditunggu-tunggu. Sunday morning adalah semacam pacar tiban yang Kami membeli beraneka macam jajanan mulai dari yang lazim dijual, seperti sosis bakar, es potong, es goreng, zuppa soup, otak-otak, hingga yang unik macam es krim pot atau cappuccino cincau.

 

Setelah Fatha lahir, agenda rutin kami setiap akhir pekan adalah keluar rumah. Berjalan kaki di alun-alun kota, mengikuti car free day sambil (lagi-lagi) mencicipi beraneka ragam kudapan. Terakhir kami melakukan quality time seperti ini adalah sesaat sebelum pandemi. Saat perutku masih besar, kami berolahraga sembari cuci mata dan memanjakan lidah. Beberapa kali festival kuliner pun tidak kami lewatkan. 

 

Sayang, pandemi Covid-19 kemudian melanda. Kami terpaksa harus menghabiskan seluruh waktu di rumah saja. Sejak cuti dan melahirkan pada Bulan Maret 2020, jalan-jalan kami hanya pada saat kontrol atau vaksinasi Nadin. Bulan Juni aku mulai work from office alias WFO, rasanya keluar rumah menjadi sangat tidak aman.

 

Waktu berlalu, hingga kemudian new normal alias adaptasi kebiasaan baru diberlakukan. Tetap saja, rasanya masih menakutkan membawa anak keluar rumah tanpa tujuan yang benar-benar penting. Beberapa kali kami membawa Fatha berkeliling kota, namun hanya untuk memberinya kesempatan melihat pemandangan berbeda. Kami pun tetap berada di dalam mobil. Kadang belanja bulanan di supermarket kami lakukan tidak di awal bulan untuk mencegah kerumunan dan antrian panjang. Tak lupa kami mengajak Fatha sehingga ia bisa ikut merasakan suasana berbeda.

 

Memang benar, saat ini tempat yang paling ingin kami tuju tidak spesifik menunjuk lokasi tertentu. kami hanya ingin bisa keluar rumah dengan tenang dan merasa aman. Tanpa perlu mengkhawatirkan kuman-kuman penyakit yang siap mengintai dan menginfeksi. Kami sangat berharap pandemi segera berakhir...

0 comment(s):

   "Aduh, aku lupa pake sunscreen ," ceplosku pagi ini setiba di ruangan. Padahal sepagian ini aku sudah berkeliling kantor. Beber...

Mencintai Diri Sendiri

 


 "Aduh, aku lupa pake sunscreen," ceplosku pagi ini setiba di ruangan. Padahal sepagian ini aku sudah berkeliling kantor. Beberapa rekan kerjaku tertawa geli. Mungkin karena dianggapnya, kok lebay, mempermasalahkan hal sepele. Hehehe..

Bagiku, menggunakan skincare adalah bagian dari mencintai diri sendiri. Merawat tubuh yang sudah diamanahkan Allah adalah sebuah kewajiban, seperti halnya makan makanan yang bergizi, cukup tidur, dan berolahraga secara rutin.

Jika diingat-ingat lagi, sejak kecil orang tuaku sudah sering mengajarkan bagaimana cara merawat dan mencintai diri sendiri. Bukan hanya secara fisik, Mama juga mengingatkanku untuk tetap memperhatikan kebutuhan sendiri, sebelum memikirkan orang lain.

Awalnya pesan Mama kuanggap egois. Hidup di dua rumah, bersama Yangti di pagi hingga siang hari, dilanjutkan sore dan malam bersama kedua orang tua, membuatku terbiasa hidup dengan standar ganda. Yangti terlihat sebagai sosok ideal yang selalu memikirkan orang lain sebelum dirinya sendiri. Beliau terlihat sangat sempurna di mataku dan para tetangga.

Mama menganut prinsip yang berbeda. Membantu orang lain boleh, namun setelah memenuhi kebutuhan diri sendiri. Misalnya, kami memasak sepanci penuh gulai daging. Jika ingin memberikan pada tetangga, pastikan keluarga sudah mendapatkan dahulu bagiannya.

Bertahun-tahun aku mengidolakan Yangti karena terlihat begitu baik seperti malaikat. Semua berubah ketika pada akhirnya aku berkeluarga dan memiliki anak. Suatu ketika aku membawa pulang nasi kotak dari kantor berisi ayam bakar. Pikirku, bisa dimakan oleh Fatha.

Rupanya Yangti menemukannya lebih dahulu dan memberikannya pada tetangga dengan alasan,

"Anak kecil jangan dibiasakan makan ayam ras. Lebih baik masakkan untuknya ayam kampung."

Aku hanya tertegun dan sempat ada perasaan dongkol kala itu. Maksud hati ingin memberikan menu spesial buat si kakak, apa daya sudah disabotase terlebih dahulu. Hehehe

Akhirnya aku menelaah kembali cerita-cerita Mama sebelumnya. Sepertinya aku lebih cocok dengan pemikiran beliau. Kita memang harus sudah selesai memikirkan diri sendiri sebelum memikirkan orang lain. Selesai mencintai diri sendiri, baru kemudian mencintai orang lain...

0 comment(s):

 Judul di atas merupakan filosofi yang sering diucapkan teman-teman seperjuangan saat menemui kendala dalam pengasuhan anak, terlebih saat o...

My Kids My Rule



 Judul di atas merupakan filosofi yang sering diucapkan teman-teman seperjuangan saat menemui kendala dalam pengasuhan anak, terlebih saat orang lain dirasa mulai mencampuri ranah tersebut. Sampai saat ini saya mempercayai filosofi itu. Akan tetapi dalam perjalanannya, saya sering mendapati beberapa kesulitan menemukan sejauh mana batasan parenting yang akan diterapkan untuk putra-putri kami, Fatha (3 tahun) dan Nadin (7 bulan).

***


Peran ganda sebagai seorang ibu dan pekerja, kadang membuat saya minder, dan merasa tidak seberuntung ibu-ibu dengan kesibukan di ranah domestik. Ada kekhawatiran putra-putri kami tidak terpenuhi hak-haknya dengan baik. Terlebih kondisi long-distance marriage membuat frekuensi pertemuan dengan suami hanya bisa dilakukan sepekan sekali.

Beruntung, suami adalah tipe orang yang kooperatif, terutama dalam membangun visi dan misi keluarga. Bersama suami, kami berdua sama-sama senang belajar terutama untuk kebutuhan pengasuhan Fatha dan Nadin.

Awalnya saya tipe orang yang mudah galau ketika ada seminar menarik, atau melihat tinjauan mengenai buku-buku yang dianggap bagus untuk anak. Keinginan untuk mengikuti, membeli, dan melahap habis semua materi tersebut sering tak dapat dibendung. Ingin rasanya menerapkan semua ilmu tentang pengasuhan anak yang tersebar di jagad maya.

Alhamdulillah semenjak memperbaiki metode komunikasi bersama suami, saya makin mampu menetapkan hati pada model pengasuhan anak. Tetap berpegang teguh pada visi dan misi keluarga yang sudah ditetapkan sehingga makin mudah menentukan model pengasuhan yang sesuai. Saya sudah tidak mudah galau dengan arus informasi yang saya dapatkan dari mana-mana karena sudah tahu ke mana keluarga kami akan dibawa. Kami sudah menentukan mana prioritas yang akan dipilih dan model pengasuhan seperti  apa yang akan diterapkan. Hal yang terpenting adalah fokus pada kebutuhan anak dan tidak perlu membandingkan dengan anak lain. Tugas ibu adalah mengarahkan dan mendampingi anak belajar.

Bahkan saya merasa suami makin mendukung langkah mengikuti berbagai kelas pengembangan diri. Beliau selalu menyempatkan waktu mendiskusikan tugas-tugas yang harus dikerjakan bersama. Mungkin suami pun merasakan perubahan: saya tak lagi mudah uring-uringan dan makin santai ketika mendapati hal-hal berjalan tidak sesuai rencana.

Saya merasakan kehidupan makin tertata rapi, apalagi semenjak belajar mengenai bullet journal.  Agenda kegiatan saya pastikan tercatat rapi, bukan hanya untuk kegiatan kantor, namun juga untuk aktivitas utama di rumah.


Ada tugas utama yang saat ini harus bisa saya kuasai. Ilmu mengenai manajemen waktu dan emosi merupakan pekerjaan rumah agar saya bisa menyeimbangkan kedua “dunia” yang saat ini saya tekuni, yaitu sebagai ibu dan pekerja. Semoga Allah meridhoi tiap langkah ikhtiar untuk kebaikan keluarga kami. Aamiin.

0 comment(s):

Ada perkataan yang menyatakan, “Jadi ibu itu harus kuat, tidak boleh sakit. Kalau sakit, siapa yang akan mengurus anak, suami, rumah, da...

Tentang Me-Time Seorang Ibu


Ada perkataan yang menyatakan,

“Jadi ibu itu harus kuat, tidak boleh sakit. Kalau sakit, siapa yang akan mengurus anak, suami, rumah, dan bebenah?”

Ada benarnya, namun aku tak sepakat seutuhnya. Sebagai ibu yang sehari-hari bekerja di luar rumah, pulang dan menemani anak-anak adalah saatnya melepas penat. Melihat segala macam ulah dan tingkah mereka dari yang lucu-menggemaskan hingga membuatku menarik napas menyabarkan diri harusnya bisa membuatku lebih bersyukur.

Tiga bulan cuti pasca melahirkan saat pandemi melanda dunia, membuatku cukup merasakan lelahnya menjadi ibu yang bekerja di ranah domestik. Setiap hari selama 24 jam selalu berhadapan dengan suami dan anak, tentu menemui saat-saat blunder, komunikasi tidak berjalan baik, salah paham, lelah, dan saat-saat kritis hingga konflik tak dapat dihindarkan.

Tentu, aku tetap bersyukur dapat merasakan hal-hal seperti itu. Bertemu setiap hari dan setiap waktu adalah sebuah keistimewaan mengingat selama tujuh tahun sebelumnya aku hanya dapat berjumpa sepekan sekali dengan suami. Mendampingi anak bermain dan belajar juga hanya dapat kulakukan setiap sore-malam-hingga sebagian pagi saja. Kecuali saat akhir pekan.

Saat-saat seperti itu membuatku makin mengagumi para ibu rumah tangga, ibu-ibu yang bekerja di ranah domestik, ibu-ibu yang selalu bisa mendampingi anak-anak setiap saat. Bisa kubayangkan bahwa dalam keadaan lelah, lapar, atau mengantuk, sedangkan si anak masih ingin bermain, tentu perjuangan berat untuk tetap menjaga mood stabil.

Padahal menurut pengalamanku, lelah, lapar, dan mengantuk adalah tiga kondisi yang amat sangat bisa memancing amarah dan emosi negatif. Sulit berpikir jernih, hingga kadang bisa mengeluarkan perkataan atau tindakan yang disesali kemudian.

Jadi, jika emosi sudah mulai sulit dikendalikan, waktunya bagiku untuk mengalokasikan me-time. Bisa dengan menitipkan si kecil pada ayah atau uti, lalu aku akan pergi mandi. 

Yang tiap hari kulakukan, pulang kantor sambil melewati jalanan berbeda juga menjadi salah satu me-time buatku. Tidak perlu terlalu muluk seperti pergi ke salon atau belanja, hehehe..

Yang pasti, sampai di rumah, kondisiku sudah harus dalam keadaan kenyang sehingga siap menghadapi anak-anak dan berbagai tugas domestik dengan bahagia.

Jadi, bolehkah ibu sakit, atau jeda sejenak dari rutinitasnya sebagai seorang ibu? Tentu saja boleh. Sejenak, ibu perlu waktu. Apalagi jika setelahnya, ibu hadir dengan energi dan semangat berlipat.

Semangat, wahai para ibu..

 

0 comment(s):

Sejak kelahiran anak kedua hampir delapan bulan lalu, pikiran dan energiku serta suami tersita sepenuhnya untuk kedua anak kami, Fatha dan N...

Memperjuangkan Hubungan Lewat Teknik i-Message





Sejak kelahiran anak kedua hampir delapan bulan lalu, pikiran dan energiku serta suami tersita sepenuhnya untuk kedua anak kami, Fatha dan Nadin. Fatha masih menunjukkan tanda-tanda cemburu jika Nadin sedang bersama denganku. Praktis, ayahnya akan membersamainya selalu.


Sebelumnya, akhir pekan menjadi waktu kami bertiga bersenang-senang bersama, piknik ala kadarnya di alun-alun atau hutan kota. Sejak pandemi terjadi, hari libur difokuskan menjadi waktu beberes rumah. Segala “kekacauan” yang terjadi di hari kerja harus dibenahi saat aku dan suami full berada di rumah. Akibatnya, waktu berkualitas antara kami berdua nyaris tidak ada lagi. Pesan-pesan singkat di WA yang sebelumnya “berwarna-warni”, sekarang menjadi monoton seperti,


“Kalau pulang, nitip sabun dan sampo sekalian ya, Yah,” atau


“Besok pulang awal ya, Yah. Jadwal Nadin imunisasi. Fatha tidak ada temannya.”


Jarang sekali aku menemukan kalimat-kalimat gombal a.k.a. mesra atau humor-humor yang terselip di antara percakapan kami berdua.


Sampai pada akhirnya, pelatihan Relawan Keluarga Kita alias RANGKUL membahas mengenai hubungan reflektif. Ada salah satu peserta yang berbagi pengalaman tentang hubungannya dengan anaknya. Ketika sang ibu masih belum tuntas dengan dirinya sendiri, ada saja emosi negatif yang berimbas pada anak. Aku jadi merefleksikan pengalaman itu pada diriku sendiri. Saat ini aku sudah bisa mengendalikan emosi ketika menghadapi si kecil. Nada tinggi sudah mulai jarang terdengar. Kuncinya aku sudah cukup makan, istirahat, atau tidur, saat menghadapi mereka.


Namun hubungan dengan suami masih jadi tugas besar yang harus segera diselesaikan.


Berbekal ilmu yang aku dapatkan dari pelatihan kemarin, berikut langkah yang coba aku lakukan:


1. Menyusun strategi dan menentukan waktu untuk bisa berbicara berdua saja dengan suami. Berhubung saat ini kami sedang terpisah jarak, aku membuat semacam undangan dengan bantuan Canva untuk private session yang kuberi judul “Sesi Ngobrol Asyik The Saputros”. Saputro adalah nama belakang suami. Harapannya, aku dan suami bisa menyampaikan hal-hal yang mengganjal serta menemukan solusi bersama. Tentunya dikemas dengan lebih seru supaya tidak kami jadikan sebagai beban.


Konsep sesi curhat ini mengadaptasi dari podcast atau siniar milik beberapa orang selebgram yang aku ikuti, seperti Fitri Tropica (Fitrop) dan Nycta Gina. Seru sekali mendengar obrolan mereka bersama suami. Ngobrol dengan bahan diskusi yang ringan, namun bisa menarik untuk terus disimak.


Nah, jika cerita keluarga lain saja menarik untuk disimak, apalagi kisah keluarga sendiri, bukan?


2. Menyampaikan maksud baik tersebut pada suami dengan menggunakan teknik I-message. 


Apa itu teknik I-message?

Teknik I-message adalah cara menyampaikan informasi atau komunikasi dengan orang lain dengan “aku” sebagai fokusnya. Jadi tidak terkesan menyalahkan pihak lain, justru akan membangkitkan empati bagi lawan bicara.


Formatnya adalah “Aku merasa… saat…. Aku ingin… karena…”.


Contoh I-message yang kusampaikan pada suami seperti berikut,


“Yah, sepertinya akhir-akhir ini kita jarang punya waktu berdua, ya. Nanti sore ayah ada waktu pukul berapa? Yuk, kita ngobrol bareng. Aku seneng banget kalau bisa ngobrol sama ayah, soalnya sering dapat pencerahan, atau setidaknya bikin perasaan lebih lega.”


Tak lupa kukirimkan gambar undangan private session yang sudah kubuat sebelumnya. 


Persiapan Sesi Curhat dengan Lima Teknik Komunikasi 

Keesokan malamnya, Sesi Curhat atau Private Session atau Sesi Ngobrol Asyik The Saputros akan dilangsungkan. Nah, supaya lebih greget dan berkesan, aku mempelajari kembali lima teknik komunikasi yang sudah kubaca sebelumnya.


1.    Menggunakan I-message. Teknik I-message adalah cara menyampaikan informasi atau komunikasi dengan orang lain dengan “aku” sebagai fokusnya. Jadi tidak terkesan menyalahkan pihak lain, justru akan membangkitkan empati bagi lawan bicara. Contohnya sudah dibahas pada postingan sebelumnya.


2.    Mengungkapkan kebutuhan diri. Misalkan dengan menyampaikan bahwa aku butuh dukungan suami untuk mencari solusi bersama.


3.    Mengungkapkan maaf. Jika ada kesalahan yang sudah diperbuat, tentu saja tak perlu gengsi menyampaikan permohonan maaf.


4.    Mengajak bersepakat. Di akhir sesi curhat, aku berencana mengajak suami untuk mencapai kesepakatan bersama. Apa rencana aksi yang akan kami lakukan.


5.    Menunjukkan apresiasi. Seperti apapun acara berjalan, berhasil atau tidak berhasil, menemukan solusi atau tidak, aku tetap harus menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih pada suami karena telah mendengarkan dan aktif berdiskusi.


Rencananya diskusi akan berlangsung melalui aplikasi Whatsapp Call. Aku sudah meminta izin pada suami untuk merekam diskusi kami. Rasanya sudah tak sabar menunggu malam itu.


Saat eksekusi, awalnya sempat ada sabotase dari Kakak,


"Ibu, aku mau ngobrol dengan ayah," dan sesi ngobrol tertunda hingga dua jam berikutnya. Hehehe..


Semoga saja acara ini bisa berlanjut dalam beberapa episode. Entah tiap minggu, dua minggu, atau sebulan sekali, akan sangat berkesan dan bermanfaat bila konsisten dijalankan.





 



0 comment(s):