Home Top Ad

Responsive Ads Here

Search This Blog

Aku sangat takut pada kematian. Membayangkan bagaimana aku akan meninggalkan dunia tanpa bekal tabungan akhirat membuatku bergidik ngeri.  P...

Tentang Kematian


Aku sangat takut pada kematian. Membayangkan bagaimana aku akan meninggalkan dunia tanpa bekal tabungan akhirat membuatku bergidik ngeri. 


Pikiranku melayang pada salah satu sesi muhasabah yang diadakan Rohis Fakultas saat kuliah. Sedikit ekstrem, kami dibaringkan pada sebuah lubang-lubang galian yang dialasi selembar tikar. Seorang kakak tingkat berjaga dan mengawasi setiap lubang, membacakan puisi seakan mewakili senandika kami. 


"Ya Allah, jika Engkau masih memperkenankan aku hidup, maka ingin rasanya aku menghabiskan waktu dengan baik. Betapa menyesalnya aku dengan setiap detik yang kujalani sebelum ini terjadi," tak terasa air mataku ikut mengalir saat mendengar ratapan kakak tingkat. Bagaimana jika Allah benar-benar memanggilku saat itu? Bagaimana caraku menjawab pertanyaan-pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur nanti? 


***


Bulan November, enam tahun lalu, Bapak meninggalkan Ibu dan ketiga orang anaknya, menghadap Sang Pencipta. Kehilangan orang tersayang, salah satu panutan sontak membuatku limbung. 


Saat itu, aku melihat dengan jelas bagaimana kematian itu. Beberapa menit sebelum berpulang, aku masih bercakap-cakap dengan Bapak sambil membuatkannya teh manis hangat. 


Bapak jatuh di kamar mandi pada saat aku sedang bersiap-siap berangkat kerja. Saat itu hanya ada kami berdua di rumah. Ibu sudah lebih dahulu berangkat mengajar. 


Sayup-sayup kudengar suara rintihan dari dalam kamar mandi. Ketika kutemukan, bapak berada dalam posisi tengkurap sedang berusaha membuka pintu. 


Perasaanku tidak enak ketika harus meninggalkannya seperti itu, menitipkannya pada tetangga. Setelah menghubungi Ibu, aku memantapkan hati menuju kantor. 


Dua jam setelahnya, Ibu meneleponku. Dengan suara terbata-bata, beliau mengabarkan bahwa Bapak berpulang. Seperti petir menggelegar tepat di atas kepalaku. Aku baru benar-benar merasakan beratnya kehilangan


Setahun pertama setelah kepergiannya, aku masih merasakan kehilangan itu. Apapun yang kulakukan, tak ada yang bisa membuatku bersemangat. Bayangan  akan kematian selalu menghantuiku. Bagaimana jika aku menemui-Nya dalam keadaan tidak siap? 


***


Saat ini kematian masih menjadi hal yang kutakuti untuk alasan yang lain. Membayangkan bagaimana anak-anak dibesarkan tanpa sosok orang tua - ibu, khususnya - membuatku sangat khawatir. 


Kemudian bayangan tentang tokoh-tokoh anak yang terlunta-lunta saat ditinggalkan oleh orang tuanya dalam sinetron Indonesia sukses membuatku menitikkan air mata. Bagaimana mereka akan tumbuh tanpa arahan yang jelas, bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap? Bagaimana jika mereka tidak dibesarkan oleh orang yang benar-benar menyayangi mereka? 


Teringat akan salah satu "mata kuliah" pranikah yang kupelajari dari tulisan Asma Nadia dan Isa Alamsyah. Sejatinya, visi mendidik anak adalah mempersiapkan anak agar mereka bisa tetap hidup dengan baik saat orang tua tinggalkan. Mengajarkan kemandirian adalah kuncinya. 


Suami selalu mengingatkan bahwa kematian bukanlah perpisahan. Aku selalu berdoa agar keluarga besar kami nanti dapat dipertemukan kembali di Surga-Nya. Aamiin


#hari6

#ch5kepenulisan

#clustersolutif

#bundaproduktif

#institutibuprofesional

0 comment(s):