Sejak kelahiran anak kedua hampir delapan bulan lalu, pikiran dan energiku serta suami tersita sepenuhnya untuk kedua anak kami, Fatha dan Nadin. Fatha masih menunjukkan tanda-tanda cemburu jika Nadin sedang bersama denganku. Praktis, ayahnya akan membersamainya selalu.
Sebelumnya, akhir pekan menjadi waktu kami bertiga bersenang-senang bersama, piknik ala kadarnya di alun-alun atau hutan kota. Sejak pandemi terjadi, hari libur difokuskan menjadi waktu beberes rumah. Segala “kekacauan” yang terjadi di hari kerja harus dibenahi saat aku dan suami full berada di rumah. Akibatnya, waktu berkualitas antara kami berdua nyaris tidak ada lagi. Pesan-pesan singkat di WA yang sebelumnya “berwarna-warni”, sekarang menjadi monoton seperti,
“Kalau pulang, nitip sabun dan sampo sekalian ya, Yah,” atau
“Besok pulang awal ya, Yah. Jadwal Nadin imunisasi. Fatha tidak ada temannya.”
Jarang sekali aku menemukan kalimat-kalimat gombal a.k.a. mesra atau humor-humor yang terselip di antara percakapan kami berdua.
Sampai pada akhirnya, pelatihan Relawan Keluarga Kita alias RANGKUL membahas mengenai hubungan reflektif. Ada salah satu peserta yang berbagi pengalaman tentang hubungannya dengan anaknya. Ketika sang ibu masih belum tuntas dengan dirinya sendiri, ada saja emosi negatif yang berimbas pada anak. Aku jadi merefleksikan pengalaman itu pada diriku sendiri. Saat ini aku sudah bisa mengendalikan emosi ketika menghadapi si kecil. Nada tinggi sudah mulai jarang terdengar. Kuncinya aku sudah cukup makan, istirahat, atau tidur, saat menghadapi mereka.
Namun hubungan dengan suami masih jadi tugas besar yang harus segera diselesaikan.
Berbekal ilmu yang aku dapatkan dari pelatihan kemarin, berikut langkah yang coba aku lakukan:
1. Menyusun strategi dan menentukan waktu untuk bisa berbicara berdua saja dengan suami. Berhubung saat ini kami sedang terpisah jarak, aku membuat semacam undangan dengan bantuan Canva untuk private session yang kuberi judul “Sesi Ngobrol Asyik The Saputros”. Saputro adalah nama belakang suami. Harapannya, aku dan suami bisa menyampaikan hal-hal yang mengganjal serta menemukan solusi bersama. Tentunya dikemas dengan lebih seru supaya tidak kami jadikan sebagai beban.
Konsep sesi curhat ini mengadaptasi dari podcast atau siniar milik beberapa orang selebgram yang aku ikuti, seperti Fitri Tropica (Fitrop) dan Nycta Gina. Seru sekali mendengar obrolan mereka bersama suami. Ngobrol dengan bahan diskusi yang ringan, namun bisa menarik untuk terus disimak.
Nah, jika cerita keluarga lain saja menarik untuk disimak, apalagi kisah keluarga sendiri, bukan?
2. Menyampaikan maksud baik tersebut pada suami dengan menggunakan teknik I-message.
Apa itu teknik I-message?
Teknik I-message adalah cara menyampaikan informasi atau komunikasi dengan orang lain dengan “aku” sebagai fokusnya. Jadi tidak terkesan menyalahkan pihak lain, justru akan membangkitkan empati bagi lawan bicara.
Formatnya adalah “Aku merasa… saat…. Aku ingin… karena…”.
Contoh I-message yang kusampaikan pada suami seperti berikut,
“Yah, sepertinya akhir-akhir ini kita jarang punya waktu berdua, ya. Nanti sore ayah ada waktu pukul berapa? Yuk, kita ngobrol bareng. Aku seneng banget kalau bisa ngobrol sama ayah, soalnya sering dapat pencerahan, atau setidaknya bikin perasaan lebih lega.”
Tak lupa kukirimkan gambar undangan private session yang sudah kubuat sebelumnya.
Persiapan Sesi Curhat dengan Lima Teknik Komunikasi
Keesokan malamnya, Sesi Curhat atau Private Session atau Sesi Ngobrol Asyik The Saputros akan dilangsungkan. Nah, supaya lebih greget dan berkesan, aku mempelajari kembali lima teknik komunikasi yang sudah kubaca sebelumnya.
1. Menggunakan I-message. Teknik I-message adalah cara menyampaikan informasi atau komunikasi dengan orang lain dengan “aku” sebagai fokusnya. Jadi tidak terkesan menyalahkan pihak lain, justru akan membangkitkan empati bagi lawan bicara. Contohnya sudah dibahas pada postingan sebelumnya.
2. Mengungkapkan kebutuhan diri. Misalkan dengan menyampaikan bahwa aku butuh dukungan suami untuk mencari solusi bersama.
3. Mengungkapkan maaf. Jika ada kesalahan yang sudah diperbuat, tentu saja tak perlu gengsi menyampaikan permohonan maaf.
4. Mengajak bersepakat. Di akhir sesi curhat, aku berencana mengajak suami untuk mencapai kesepakatan bersama. Apa rencana aksi yang akan kami lakukan.
5. Menunjukkan apresiasi. Seperti apapun acara berjalan, berhasil atau tidak berhasil, menemukan solusi atau tidak, aku tetap harus menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih pada suami karena telah mendengarkan dan aktif berdiskusi.
Rencananya diskusi akan berlangsung melalui aplikasi Whatsapp Call. Aku sudah meminta izin pada suami untuk merekam diskusi kami. Rasanya sudah tak sabar menunggu malam itu.
Saat eksekusi, awalnya sempat ada sabotase dari Kakak,
"Ibu, aku mau ngobrol dengan ayah," dan sesi ngobrol tertunda hingga dua jam berikutnya. Hehehe..
Semoga saja acara ini bisa berlanjut dalam beberapa episode. Entah tiap minggu, dua minggu, atau sebulan sekali, akan sangat berkesan dan bermanfaat bila konsisten dijalankan.
0 comment(s):