Home Top Ad

Responsive Ads Here

Search This Blog

Jargon "My Kids My Rules"  merupakan filosofi yang sering diucapkan teman-teman seperjuangan saya saat menemui kendala dalam pen...

My Kids My Rules: Kisah di Balik Matrikulasi Ibu Profesional


Jargon "My Kids My Rules" merupakan filosofi yang sering diucapkan teman-teman seperjuangan saya saat menemui kendala dalam pengasuhan anak, terlebih saat orang lain dirasa mulai mencampuri ranah tersebut. Sampai saat ini saya mempercayai filosofi itu. Akan tetapi dalam perjalanannya saya sering mendapati beberapa kesulitan menemukan sejauh mana batasan parenting yang akan diterapkan untuk Fatha, putra kami yang baru berusia 15 bulan.

***

Mengenal Institut Ibu Profesional (IIP) sejak 2015 lewat grup WA foundation, saya sangat kagum pada kesantunan semua membernya. Etika mengenai bijak menggunakan media sosial tercermin di sana. Para bunda yang ada di sana hanya diperkenankan membagikan berita jika sudah benar-benar diketahui kesahihannya, dan jelas memiliki manfaat jika dibagikan, serta harus mencantumkan sumber beritanya. Ada GFOS (gadget free on Sunday) yang membuat kita fokus pada keluarga di hari cuti tersebut. Bahkan sampai untuk left dari grup pun ada tata kramanya, yaitu diharuskan pamit secara baik-baik dan menunggu respon minimal dari satu orang, baru kemudian diperkenankan meninggalkan grup.

Nilai-nilai dalam IIP ini yang kemudian membuat saya jatuh hati. Namun dalam perjalanannya, saya masih merasa belum yakin untuk bisa istiqomah mengikuti kegiatan perkuliahannya. Profesi sebagai ibu bekerja di ranah publik adalah kendala terbesar saya. Jam kantor kadang tidak menentu, bahkan saat di akhir pekan. Saat itu kuliah ibu profesional hanya dilakukan secara luring di kampus Margosari tepat di jam kerja saya. Pun ketika akhirnya ibu profesional membuka kuliah secara daring, saya masih merasa belum bisa membagi waktu antara pekerjaan rumah, kantor dan kegiatan perkuliahan nantinya.

Hingga akhirnya Allah memberikan amanah putra, keyakinan untuk belajar lebih dalam menjadi orang tua semakin membuncah. Ketika pendaftaran kelas matrikulasi dibuka, segera saya meminta restu dari suami, dan alhamdulillah ijin didapat juga.

Sempat galau untuk memilih antara kelas daring atau luring. Alhamdulillah calon fasilitator kala itu, Mbak Sindu, memberikan beberapa pertimbangan. Luring, anak bisa memahami bahwa ibu sedang belajar. Qodarullah, beberapa calon teman sekelas merupakan para ibu dengan kesibukan di ranah publik sehingga kelas luring dapat dilakukan di akhir pekan. Makin mantaplah hati saya untuk mengikuti kelas matrikulasi. Dan Masya Allah, betapa menakjubkannya menikmati kesempatan belajar di sini.

Kelas Salatiga offline merupakan satu-satunya kelas matrikulasi yang diadakan dengan tatap muka secara langsung. Pertemuan perdana membahas mengenai adab menuntut ilmu. Tertohoklah hati saya kala itu ketika fasilitator menyampaikan bahwa salah satu hal yang menyebabkan ilmu yang kita dapat kadang hilang tak berbekas adalah ketiadaan ridho dari Sang Guru. Astaghfirullah, betapa seringnya kecurangan-kecurangan kecil sering dilakukan saat masih sekolah. Bahkan hingga setua ini, kadang ketika akan mengutip referensi dari beberapa sumber, diperoleh dengan cara yang tidak halal. Fotokopi materi dari buku yang sudah memiliki hak cipta, atau datang mepet waktu bahkan terlambat ke Majelis Ilmu, misalnya. Hal-hal yang sering dianggap remeh namun ternyata berimbas besar terhadap keseluruhan proses belajar yang kita lakukan seumur hidup.

Pertemuan demi pertemuan dalam proses belajar di kelas matrikulasi selalu menjadi saat-saat yang menyenangkan. Perasaan bahagia yang jarang saya rasakan ketika masih bersekolah dulu. Bahkan Hari Sabtu merupakan hari yang saya tunggu-tunggu karena semangat akan mendapatkan ilmu baru yang insyaAllah bermanfaat bagi keluarga kecil kami.

Sebagai seorang ibu dengan peran lain di luar rumah, kadang membuat saya minder dan merasa tidak seberuntung ibu-ibu dengan kesibukan di ranah domestik. Ada kekhawatiran putra kami tidak terpenuhi hak-haknya dengan baik. Terlebih kondisi long-distance marriage membuat frekuensi pertemuan dengan suami hanya bisa dilakukan sepekan sekali.

Beruntung, suami adalah tipe orang yang kooperatif, terutama dalam membangun visi dan misi keluarga. Bersama suami, kami berdua sama-sama senang belajar terutama untuk kebutuhan pengasuhan Nanda. Awalnya saya tipe orang yang mudah galau ketika ada seminar menarik, atau melihat reviu buku-buku yang dianggap bagus untuk anak. Keinginan untuk mengikuti, membeli, dan melahap habis semua materi tersebut sering tak dapat dibendung. Ingin rasanya menerapkan semua ilmu tentang pengasuhan anak yang tersebat di jagad maya.

Alhamdulillah semenjak mengikuti matrikulasi IIP, saya makin mampu menetapkan hati pada model pengasuhan anak. Tetap berpegang teguh pada visi dan misi keluarga yang sudah ditetapkan sehingga makin mudah menentukan model pengasuhan yang sesuai. Saya sudah tidak mudah baper dengan arus informasi yang saya dapatkan dari mana-mana. Karena saya sudah tahu ke mana keluarga kami akan dibawa. Mana prioritas yang akan kami pilih. Model pengasuhan seperti  apa yang akan diterapkan. Bahwa yang terpenting adalah fokus pada kebutuhan anak dan tidak perlu membandingkan dengan anak lain. Tugas ibu adalah mengarahkan, mendampingi, dan membersamai anak dalam belajar.

Bahkan saya merasa suami makin mendukung langkah saya mengikuti kelas matrikulasi ini. Beliau selalu menyempatkan waktu mendiskusikan tugas-tugas yang harus kami kerjakan bersama. Mungkin suami pun merasakan perubahan pada diri saya, di antaranya tidak lagi mudah uring-uringan dan makin selow ketika mendapati hal-hal berjalan tidak sesuai rencana.

Saya pribadi merasakan kehidupan makin tertata rapi, apalagi semenjak belajar mengenai bullet journal di salah satu kegiatan ibu profesional.  Agenda kegiatan saya pastikan tercatat rapi, bukan hanya untuk kegiatan kantor, namun juga untuk aktivitas utama di rumah.

Ada tugas utama yang saat ini harus bisa saya kuasai. Ilmu mengenai Bunda Sayang dan Bunda Cekatan merupakan pekerjaan rumah agar saya bisa menyeimbangkan kedua “dunia” yang saat ini saya tekuni, yaitu sebagai ibu dan pekerja. Semoga Allah meridhoi tiap langkah ikhtiar untuk kebaikan keluarga kami. Aamiin..



WhatsApp Image 2018-09-20 at 15.17.37

0 comment(s):