Home Top Ad

Responsive Ads Here

Search This Blog

Langit Salatiga pada Sabtu sore itu terlihat biru cerah. Kontras dengan Gunung Merbabu yang tampak tegar di kejauhan. Mendung diikuti ...

Berwisata sambil Belajar: Dunia Vektor dan Reservoir Penyakit


Langit Salatiga pada Sabtu sore itu terlihat biru cerah. Kontras dengan Gunung Merbabu yang tampak tegar di kejauhan. Mendung diikuti hujan yang biasanya menggelayut tak muncul sama sekali. Ayah berkendara dengan memboncengkan Ibu dan Fatha dalam gendongan. Jalan raya tampak lengang, seperti hari-hari biasa.

Lima belas menit perjalanan terasa singkat. Kami pun tiba di sebuah bangunan perkantoran dengan lapangan berumput hijau di bagian depannya. Jangan bayangkan gedung perkantoran ini seperti gedung bertingkat di kota-kota besar.


Gedung yang kami tuju sangat sederhana dan bersahaja. Suasana asri mendominasi, disebabkan oleh pepohonan rindang yang menaungi. Pohon kamboja yang meranggas menambah kesan eksotis bangunan yang kami tuju.

Hari itu kami berencana berwisata ke Dunia Vektor dan Reservoir Penyakit, atau yang lebih dikenal sebagai Duver. Duver merupakan wahana wisata ilmiah yang dibangun pada tahun 2011 oleh Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (B2P2VRP). Balai Besar ini merupakan unit pelaksana teknis di bawah Badan Penelitian Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.


Ketika masuk pintu gerbang, kami disambut oleh petugas keamanan yang berjaga. Ah ya, Duver hanya buka di hari Senin sampai dengan Jumat pukul 08.00 hingga 16.00. Saat itu seharusnya wahana tersebut ditutup.


Kami mendapat akses untuk masuk ke dalam Duver karena sehari-hari Ibu Fatha bekerja di sana. Jadi kami diperbolehkan masuk, namun Ibu Fatha-lah yang harus berperan sebagai guide bagi Ayah dan Fatha. Hehehe..


Tampilan depan Duver

Buat yang bertanya-tanya, apa saja isi Duver, kita mulai dari bagian luar dulu, ya. Informasi mengenai definisi vektor dan reservoir penyakit termuat pada dinding samping gedung.


Tampilan poster pada dinding bagian luar gedung

Nyamuk, lalat, dan kecoa merupakan sebagian vektor penyakit yang bisa ditemukan di Indonesia. Sudah bisa mengira-ngira artinya? Ya, vektor adalah serangga penular penyakit, dari hewan kepada manusia atau antar manusia. Penyakit yang ditularkan oleh serangga-serangga ini dinamakan penyakit tular vektor. Contoh yang paling umum ditemukan adalah demam berdarah dengue, malaria, filariasis limfatik atau penyakit kaki gajah, dan chikungunya.

Mirip seperti vektor, reservoir juga merupakan makhluk hidup yang dapat menularkan penyakit. Bedanya, kuman atau agen penyakit pada reservoir dapat berkembang biak di dalam tubuhnya sehingga mampu ditularkan pada makhluk hidup lain. Reservoir dapat berupa vertebrata (manusia atau hewan) dan tidak mengalami gejala klinis penyakit, atau gejala yang timbul sangat ringan.


Penjelasan mengenai vektor dan reservoir penyakit kami dapat dengan lebih jelas dan menarik di dalam gedung Duver. Begitu melewati pintu masuk, sepasang maskot Duver, yaitu Mosqi dan Ratty telah menyambut. Mosqi adalah nyamuk berwarna kecoklatan yang digambarkan sedang dirangkul oleh Ratty. Ratty berbulu kelabu dan mengenakan jas laboratorium berwarna biru. Tangan kanan si tikus ini memegang kaca pembesar.


Mosqi Si Nyamuk, dan Ratty Si Tikus maskot Duver
Setelah memotret mereka berdua, Ibu Fatha baru sadar, lampu ruangan belum dinyalakan. Pantas gelap :D

Tepat di samping kiri kedua maskot tersebut, beberapa pigura berisi "sketsa" tampak dipajang berderet. Setelah diamati baik-baik, rupanya bukan sketsa yang dibingkai oleh pigura, melainkan kolase dari ratusan ekor lalat, nyamuk, dan kecoa. Kolase tersebut membentuk berbagai bentuk seperti logo Bhakti Husada, kecoa raksasa, mikroskop, peta Indonesia, bahkan wajah presiden, wakil presiden, dan mantan menteri kesehatan RI.

Kolase serangga vektor

Berada di seberang "lukisan" serangga, terpajang sebuah layar LCD besar yang biasa digunakan untuk menayangkan film. Biasanya film edukasi mengenai serangga vektor atau hewan penular penyakit ditayangkan ketika ada pengunjung.



Siswa-siswa SD sedang menyaksikan film tentang siklus hidup nyamuk. Foto diambil dari koleksi B2P2VRP

Sampai saat ini, diketahui ada 2 spesies nyamuk yang telah terbukti menularkan demam berdarah dengue (DBD):  Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Demam berdarah menjadi masalah di hampir semua daerah di Indonesia.

Berbeda dari DBD, malaria diakibatkan oleh plasmodium dan ditularkan oleh  nyamuk Anopheles. Uniknya, ada 20 lebih spesies yang diketahui berperan sebagai vektor malaria di Indonesia. Padahal habitat atau tempat hidup Anopheles ini berbeda-beda tergantung spesiesnya. Pun cara mengendalikan nyamuk tersebut.


Itulah sebabnya pengetahuan mengenai jenis dan sebaran nyamuk Anopheles sangatlah penting. Peta sebaran ini dipasang pada dinding sebelah LCD, tak jauh dari poster mengenai siklus penularan DBD dan penyakit kaki gajah.


Peta sebaran nyamuk Anopheles yang berperan sebagai vektor malaria. Pengunjung diperkenankan menekan saklar lampu yang merepresentasikan satu spesies nyamuk. Lampu akan menyala di lokasi tempat nyamuk tersebut menularkan penyakit.

Siklus penularan penyakit tular vektor penting diketahui untuk memutus rantai penularan

Anjungan berikutnya adalah koleksi awetan nyamuk yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Koleksi tersebut tersimpan rapi pada kotak-kotak kayu besar bertutup kaca. Mikroskop dan kaca pembesar telah disediakan bagi pengunjung untuk mengamati nyamuk lebih dekat.

Spesimen awetan nyamuk dari Sulawesi. Informasi mengenai nama spesies, lokasi, metode, tanggal penangkapan, dan nama petugas penangkap ditulis pada label sebagai satu kesatuan dengan spesimen.

Para pengunjung cilik biasanya tertarik dengan kenampakan nyamuk di bawah mikroskop. Foto diambil dari koleksi B2P2VRP.

Berbagai macam peralatan penangkapan dan pengendalian nyamuk dari masa ke masa ditampilkan pada sebuah lemari kayu dengan pintu kaca. Kesan kuno dan klasik timbul karena alat-alat yang dipajang di sana merupakan alat-alat berusia tua yang sudah tidak digunakan lagi.

Kenampakan lemari penyimpanan alat

Kotak-kotak kayu berjendela kaca memuat beragam diorama. Beragam model pengendalian nyamuk DBD dan malaria, leptospirosis, serta habitat tempat ditemukannya tikus dapat dipelajari di sana.


Model pengendalian nyamuk dengan penyemprotan insektisida secara IRS

Tampilan deretan diorama

Diorama ini berupa miniatur rumah dan lingkungan yang umum ditemukan nyamuk atau kuman penyebab leptospirosis. Cara mengendalikan penyakit tersebut ditunjukkan dengan orang-orangan mini yang sedang menyemprotkan insektisida. Tempat penampungan air yang berpotensi sebagai tempat hidup nyamuk juga ditunjukkan melalui model-model mini ini.


Poster hasil penelitian

Anjungan-anjungan berikutnya memperlihatkan bagaimana proses penangkapan nyamuk, tikus, dan kelelawar di lapangan. Manekin dengan pakaian lapangan memeragakan bagaimana menggunakan alat-alat survei. Jenis-jenis hewan penular penyakit dipamerkan dalam kotak-kotak kaca berukuran sangat besar.



Cara menggunakan perangkap tikus dan kelelawar yang disemonstrasikan oleh bapak-bapak manekin berpakaian seragam lapangan.

Bermacam jenis kelelawar yang sudah diawetkan. 


Berbagai jenis tikus awetan hasil tangkapan di lapangan

Parasit cacing yang ditemukan pada organ di dalam perut tikus.

Contoh reservoir berupa unggas

Jenis reservoir yang tergolong dalam mamalia, termasuk kambing, anjing, dan harimau.

Pak manekin menunjukkan cara menggunakan aspirator untuk menangkap nyamuk dalama keadaan tetap hidup, serta deeper untuk mengumpulkan jentik nyamuk.

Keluar dari bangunan gedung, kami menemui sepetak kecil taman dan "kebun binatang mini". Ternyata bukan sembarang taman, tempat tersebut mempertontonkan tanaman dan hewan alami yang berperan sebagai musuh alami vektor dan reservoir penyakit. Ada ikan dan ular. Ada pula hewan-hewan yang sering ditemukan di sekitar kita, namun rupanya berperan juga sebagai reservoir penyakit. Contohnya ayam yang dapat menularkan penyakit flu burung.



Taman pengendalian vektor dan reservoir

Tak terasa hampir satu jam kami berkeliling. Padahal Duver tergolong imut untuk ukuran wahana ilmiah. Tapi karena memuat banyak informasi ilmiah, waktu pun berasa singkat.

Tak afdol, berkunjung tanpa berswafoto 🙈

Kami pun pulang menuju rumah sebelum azan maghrib berkumandang. Tertarik pergi ke sana? Detail prosedurnya bisa teman-teman baca pada tautan ini. Biaya masuk cukup dua ribu rupiah per orang.

Selamat berkunjung :)





0 comment(s):