Jika ditanya, apa profesi utama Ibu Fatha, tanpa ragu saya menjawab, "A happy playmate and best friend for a 2-year-old toddler."
Menjadi teman bermain Fatha adalah cita-cita saya semenjak diperistri oleh ayahnya. Penantian beberapa tahun untuk kelahirannya membuat saya memantapkan hati akan mendedikasikan waktu dan tenaga buat keluarga. Oke, mungkin masih jauh dari kata ideal. Ada masanya saya harus tega mengabaikan tangisan atau rayuan Si Kecil ketika harus meninggalkannya jauh ke luar kota selama beberapa hari.
Tugas lain sebagai abdi negara memang sering membuat dilema. Saya bergabung di institusi pemerintahan sejak lulus kuliah S1. Dulunya tak pernah terlintas dalam benak saya bahwa menjadi ibu bekerja akan segalau ini. Mana yang akan dipilih apabila tugas negara menanti, sedangkan Si Kecil sebagai amanah utama sedang butuh banyak perhatian.
Perasaan rindu dan bersalah kadang muncul meski tak sampai menghantui. Manajemen emosi agar perasaan negatif itu tidak berlarut-larut sangat diperlukan dalam situasi saya. Ayah Fatha sering mengingatkan,
Beruntunglah anak kita yang sudah belajar menata hatinya saat berpisah dari Ayah Ibunya. Penting untuk selalu menghargai perasaannya. Tugas kita adalah membuatnya tak segan menyampaikan emosinya.Kami selalu menyempatkan pillow talk saat sedang bersama; memastikan bahwa buah hati kami tahu, ia dicintai dan diharapkan kehadirannya. Fatha adalah anak dengan tipe bahasa kasih sentuhan. Menghujaninya dengan perhatian dan sentuhan fisik mampu mencuri hatinya. Memberikannya banyak pelukan, senyuman, belaian di kepala, atau bahkan pijatan-pijatan lembut saat menjelang tidur adalah quality time kami bersama.
Ayah Fatha sering mengingatkan saya akan sebuah kesepakatan yang kami berdua jalankan.
Tak ada gawai ketika sedang membersamai Si Kecil. Seluruh fokus dan perhatian ditujukan padanya. Tatap matanya ketika berbicara dan tanggapi setiap komunikasi darinya.Saya sering merasa takjub dengan hal sederhana ini. Ketika merasa dihargai dan diperhatikan, anak lebih mudah diajak berkompromi. Contohnya seperti ini.
Saya berencana meninggalkan Fatha selama beberapa hari untuk urusan pekerjaan. Dua atau tiga hari sebelumnya, saya meminta ijin untuk tak dapat membersamainya. Saya mencari waktu khusus saat sedang berdua. Saat menyusui, misalnya. Momen-momen seperti itu, saya bisa menatap mata Fatha sambil menyampaikan maksud kata-kata saya. Ia pun merespon dengan baik.
Jika hari itu ia belum memberikan ijin, saya akan mengulangnya lagi di kesempatan berikutnya. Seringnya Si Anak Bujang memahami dan merestu keberangkatan saya. Terlebih jika saat berangkat ia menyaksikan sendiri bagaimana saya naik kendaraan, sepanjang tugas luar kota Fatha tidak akan merengek mencari Ibunya.
Semoga hingga besar nanti, kami selalu bisa menjalin komunikasi dengan baik. Bukankah kepercayaan bisa dibangun, salah satunya dengan kelancaran komunikasi dari hati ke hati? :)
0 comment(s):